Diduga Klarifikasi Kepsek Abal Abal, Polemik Siswa Tak Naik Kelas di SDN 04 Botumoito Makin Panas

FAKTAPUBLIK.ID – Pernyataan klarifikasi dari Kepala SDN 04 Botumoito, Farida Musa, S.Pd.I., terkait keputusan tidak naik kelas terhadap enam siswa,  justru memunculkan babak baru dalam polemik pendidikan di desa Tapadaa Kecamatan Botumoito,Kabupaten Boalemo. Klaim bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan data objektif dan kesepakatan bersama, dinilai abal abal tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi lapangan oleh salah satu orang tua siswa.

Sebelumnya, Kepala Sekolah menyampaikan bahwa rapat penentuan naik atau tinggal kelas telah dilaksanakan pada tanggal 17 Juni, diikuti dengan koordinasi bersama wali kelas untuk menentukan nama-nama siswa yang naik dan tinggal kelas.

Ia menjelaskan bahwa dasar keputusan tersebut mencakup sejumlah alasan, antara lain: satu siswa kelas I diduga mengalami gangguan perkembangan dan menurut pihak sekolah, orang tuanya tidak keberatan; satu siswa kelas II disebut telah pindah sekolah ke Pohuwato; tiga siswa kelas III dikatakan tidak mengikuti ujian semester, tidak belajar, dan jarang masuk sekolah; serta satu siswa kelas V dilaporkan tidak masuk selama empat bulan karena alasan tidak memiliki seragam meski pihak sekolah sudah memberikan.

Keterangan ini turut dikuatkan oleh Camat Botumoito, Jefri Kaluku, yang menyatakan bahwa siswa-siswa yang tidak naik kelas tersebut menghadapi sejumlah kendala serius, seperti tidak bisa membaca, tidak mengikuti semester, dan tidak masuk sekolah dalam jangka waktu yang cukup lama. Camat menyampaikan hal itu setelah menerima penjelasan dari kepala sekolah.

Namun, pernyataan ini menuai respons dari salah satu orang tua siswa yang terdampak. Dalam keterangannya kepada Faktapublik.id, Selasa (24/6/2025),seorang ibu bukan nama aslinya Yuni, menyampaikan dugaan bahwa klarifikasi pihak sekolah mengandung ketidaksesuaian dengan fakta di lapangan.

“Anak saya itu aktif. Saya tidak keberatan dengan siswa yang sudah pindah sekolah atau memang tidak ikut ujian. Tapi dalam kasus anak saya, keputusan diambil tanpa koordinasi dan tidak berdasarkan komunikasi yang memadai,” ujarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa selama ini tidak pernah menerima pemberitahuan resmi dari guru atau pihak sekolah terkait permasalahan yang disebutkan dalam klarifikasi. Ia menilai bahwa tidak adanya komunikasi ini bisa menjadi kekeliruan yang berdampak serius pada kepercayaan orang tua terhadap sekolah.

“Tidak pernah ada guru yang datang ke rumah, tidak pernah juga ada komunikasi lewat telepon, padahal kami punya grup WhatsApp. Tapi grup itu tidak dimanfaatkan dengan baik,” tuturnya.

Lebih jauh, ia mempertanyakan kebenaran klaim bahwa sekolah telah melakukan kunjungan rumah kepada siswa.

“Kalau memang pernah dilakukan kunjungan, saya minta tunjukkan buktinya. Mana suratnya? Mana daftar hadirnya? Mana dokumentasinya? Saya menduga itu tidak pernah dilakukan,” tambahnya.

Terkait dengan dugaan absensi siswa selama lebih dari satu bulan, Yuni (nama samaran) itu menyatakan bahwa data tersebut tidak sesuai dengan rapor yang ia miliki.

“Saya pegang rapor pendidikan anak saya. Kalau memang absen sampai satu bulan, mari kita buka faktanya bersama” tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa tudingan siswa hanya bermain di kelas dan tidak belajar seharusnya tidak serta-merta dibebankan pada anak-anak. Menurutnya, pendekatan guru terhadap siswa perlu dievaluasi.

Ia menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud menyudutkan guru, tetapi ingin menyampaikan kekecewaan sebagai orang tua yang merasa tidak dilibatkan dalam proses penentuan keputusan penting yang menyangkut masa depan anak.

Bagi sebagian orang, tidak naik kelas mungkin dianggap hal sepele. Tapi bagi siswa dan keluarganya, hal ini bisa meninggalkan dampak psikologis, stigma sosial, hingga potensi trauma. Jika alasan tidak naik kelas karena anak “tidak bisa membaca” atau “suka bermain”, maka publik patut mempertanyakan: siapa yang sebenarnya belum berhasil? Anak-anak atau sistem pembelajaran yang tidak adaptif?

Yuni bukan nama aslinya itu, juga meminta agar Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah Boalemo turun langsung untuk mengevaluasi dugaan ketidaksesuaian prosedur dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam penerapan kurikulum dan mekanisme penilaian.

“Kami sebagai orang tua berhak tahu. Jangan sampai anak-anak menjadi korban dari sistem pendidikan yang tidak berpihak,” pungkasnya. (*) Ly

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Lainnya