Oleh: Lily Ibrahim
FAKTAPUBLIK. ID – Tidak ada kisah lahirnya sebuah daerah tanpa perjuangan. Namun, Boalemo memiliki kisah yang lebih dari sekadar perjuangan administratif, ia adalah kisah tentang keteguhan, harga diri, dan cinta terhadap tanah kelahiran yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Sejarah mencatat, Boalemo bukanlah wilayah baru yang tiba-tiba muncul dalam peta pemerintahan Indonesia. Pada abad ke-17, Boalemo telah dikenal sebagai sebuah kerajaan yang wilayahnya mencakup bagian barat Gorontalo. Ketika kekuasaan kolonial Belanda masuk, sistem pemerintahan diubah berkali-kali. Boalemo kemudian dimasukkan ke dalam Onder Afdeling Boalemo berdasarkan Lembaran Negara Tahun 1925 Nomor 262, dengan wilayah administrasi yang meliputi Paguyaman, Tilamuta, dan Paguat.
Memasuki masa setelah kemerdekaan, sejarah Boalemo kembali berliku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, wilayah ini menjadi bagian dari Kabupaten Gorontalo sebagai salah satu kawedanan. Namun semangat masyarakat Boalemo untuk memiliki daerah otonom sendiri tak pernah padam. Mereka merasa jarak kendali pemerintahan dari Limboto terlalu jauh, bukan hanya dalam ukuran geografis, tetapi juga dalam perhatian dan pemerataan pembangunan.
Bertahun-tahun aspirasi pembentukan kabupaten sendiri disuarakan oleh rakyat, tokoh masyarakat. Gelombang perjuangan itu akhirnya berbuah manis pada tahun 1999, ketika Presiden RI bersama DPR RI menetapkan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Boalemo.
Tanggal 12 Oktober 1999 menjadi tonggak sejarah lahirnya Kabupaten Boalemo, hari yang kini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kabupaten Boalemo. Sebuah tanggal yang tak hanya menandai lahirnya sebuah kabupaten, tetapi juga lahirnya harapan dan martabat rakyat Boalemo setelah perjuangan panjang sejak tahun 1964.
Namun, di balik kegembiraan itu, tersimpan pula babak baru yang penuh perdebatan. Dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 1999, disebutkan:
Pasal 7:
Dengan terbentuknya Kabupaten Boalemo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka ibu kota Kabupaten Boalemo berkedudukan di Tilamuta.
Pasal 8:
Pemindahan ibu kota Kabupaten Boalemo dari Tilamuta ke Kecamatan Marisa dapat dilakukan setelah sarana dan prasarana pemerintahan telah memadai dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut dijelaskan, selambat-lambatnya dalam jangka waktu lima tahun sejak diresmikannya Kabupaten Boalemo, kedudukan ibu kota dipindahkan ke Marisa.
Klausul inilah yang kemudian menjadi sumber polemik berkepanjangan. Rakyat Boalemo menilai ketentuan tersebut mengancam nilai sejarah dan martabat perjuangan daerah. Gelombang penolakan pun muncul di berbagai penjuru, dipelopori oleh Forum Kota Pemuda Boalemo (Forkot) bersama para tokoh adat dan masyarakat. Mereka turun ke jalan, menolak wacana pemindahan ibu kota, dan menegaskan bahwa Tilamuta bukan sekadar titik administratif, melainkan simbol perjuangan rakyat Boalemo.
Dari Tilamuta lah perjuangan itu dimulai tempat para tokoh berdebat, rakyat berhimpun, dan doa-doa dipanjatkan demi terbentuknya kabupaten sendiri. Tilamuta adalah saksi dari air mata dan darah perjuangan, tempat semangat Boalemo dikobarkan untuk pertama kali.
Kini, 12 Oktober 2025, genap 26 tahun Kabupaten Boalemo berdiri. Perjalanan dua dekade lebih ini bukan tanpa luka, namun juga bukan tanpa kebanggaan. Dari rahim Boalemo, lahir pula Kabupaten Pohuwato pada tahun 2003, sebuah bukti bahwa Boalemo rela berkorban demi pemerataan pembangunan dan kemajuan bersama.
Namun sejarah juga mengajarkan satu hal, bahwa kemajuan tak boleh membuat kita lupa pada akar perjuangan. Setiap gedung pemerintahan yang berdiri hari ini adalah saksi dari perjalanan panjang yang pernah ditulis dengan tinta darah dan air mata rakyat Boalemo.
Boalemo bukan sekadar kabupaten di tepi Teluk Tomini. Ia adalah simbol keteguhan, kesabaran, dan cinta terhadap tanah kelahiran.






